Si Ragil Masuk Pesantren


Malam ini rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Suhu udara kaki Gunung Andong menambah suasana terasa sepi. Tak ada lagi keluhan-keluhan adek ragil (bungsu) kalau keinginannya tak dipenuhi atau tidak sesuai harapan. Tak ada lagi suara ribut Ibuk ngopyak-ngopyak (nyuruh) adek segera bergegas setiap waktu shalat. Tak ada lagi saya bawel menanggapi adek yang masih ceroboh dan kemproh (belum bisa rapi, bersih) 😂. Dan masih banyak lagi rutinitas yang hilang beberapa hari terakhir.

Sudah  seminggu adek belajar hidup mandiri, mondok. Terhitung tanggal 7 Juli 2018 adek berstatus santri di SMP IT At Taqwa. Sebagai ikhtiar supaya anak-anaknya menjadi pribadi yang baik dan taat beragama, Bapak dan Ibuk mengirim kami ke pesantren selepas SD atau SMP. 

Saat usia saya memasuki tahun ke 15, akhir April dini hari adek lahir dengan tangis kencangnya. Sementara adik laki-laki saat itu tepat berusia 12 tahun. Ya, kedua adik saya lahir di tanggal yang sama. Saya cukup waswas di pesantren, karena kondisi saat itu usia Ibuk sudah 47 tahun, usia yang rentan untuk melahirkan. Alhamdulillah atas kuasa Allah, Ibuk dan adek sehat semua. Bayi mungil itu cantik sekali. Ah tak terbayang saat itu betapa bahagianya saya punya adik perempuan, setelah 8 bulan sebelumnya kakak perempuan saya meninggal mendadak. Kehadiran adek adalah hiburan tersendiri bagi kami. Waktu liburan selalu ditunggu-tunggu, waktu untuk berkumpul dan bermain bersama. 

Tak terasa 12 tahun berlalu, adek tumbuh menjadi remaja. Agar bertambah baik budi pekerti dan agama, dipilihlah pesantren sebagai tempat menimba ilmunya. Semoga betah ya dek, selamat menikmati suka dukanya thalabul 'ilmi. Meminjam petuah Imam Syafi'i, “Bila kau tak sanggup menahan lelahnya  belajar, maka kau harus sanggup menanggung perihnya kebodohan".

Mendidik dengan 'Keprihatinan'

Baru-baru ini saya menyadari betul bahwa menyekolahkan anak ke pesantren itu bukan perkara sepele. Pertama, biaya menyekolahkan anak di pesantren relatif lebih mahal dibandingkan di sekolah umum, meskipun kalau dihitung secara cermat meliputi apa yang didapatkan si anak, jatuhnya sama saja. Orang tua saya terbilang nekat juga. Berstatus PNS Guru SD, penghasilan Bapak sebagian besar habis untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. 5 dari 6 anaknya disekolahkannya ke pesantren. Bagi Bapak dan Ibuk, sugih (kaya) anak yang baik lebih utama daripada sugih harta. Alhamdulillah kami tidak pernah merasa kurang, uang saku dan SPP tidak pernah telat. Allah selalu mencukupkan meski kadang mepet.

Kedua, melepaskan anak merantau di usia belia bukanlah hal yang mudah, perlu menata hati agar ikhlas dan 'tega' berpisah sejenak. Terutama buat para ibu, menjadi beban pikiran saat harus berjarak dengan buah hati. Kemarin sepupu berkunjung ke rumah. Dia cerita kalau setiap mau tidur selalu kepikiran anaknya yang baru saja masuk pesantren yang kebetulan satu sekolah dengan adek bungsu saya. Hal ini juga dialami Ibuk saya. Saat didepan anak-anaknya memang Ibuk tampak tegar, tapi di belakang kami, sesenggukan juga. Di hari ketiga adek di pesantren, kami mendapat kabar kalau adek tidak kebagian sayur saat makan malam. Akhirnya cuma makan nasi dengan kerupuk + kecap. Ada wajah sendu di wajah Ibuk, "Oalah nduk nduk, mesakke temen" 😞 

Meskipun begitu, Ibuk berkeyakinan bahwa sebagai orang tua, harus ikhlas dan ridha melepaskan anaknya agar si anak lebih tenang dan lancar dalam belajar. Doa dan ridha orang tua akan memudahkan anak dalam thalabul 'ilmi.

Menyekolahkan anak di pesantren sejatinya salah satu bentuk mendidik anak dengan 'keprihatinan'. Anak distumulus agar mandiri, mampu memimpin dirinya sendiri dan survive menghadapi keterbatasan. Survival skill ini akan terasah seiring dengan ujian-ujian yang dihadapi anak di pesantren. Saya ingat betul dulu saya sampai sakit beberapa hari saat awal masuk pesantren, home sick yang berlanjut jadi sakit fisik. 3 tahun berikutnya, malah saya sendiri yang minta agar diizinkan melanjutkan sekolah di Tangerang, ratusan km jauhnya dari rumah. Pulang-pergi Magelang-Tangerang sendiri menjadi hal biasa. 

Tentang mendidik dengan 'keprihatinan' ini, saya teringat kisah Nabi Ibrahim saat mendidik Nabi Ismail kecil. Nabi Ismail dilepas di lembah yang gersang dan tandus, seperti doa beliau kepada Allah yang tertulis dalam QS Ibrahim ayat 37:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

"Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur"

Nabi Ibrahim telah memberikan teladan bahwa dengan keterbatasan, anak diharapkan bisa belajar bekerja keras, melahirkan ide-ide cemerlang guna menghadapi masala yang dihadapinya. Disini potensi anak akan berkembang. Muncullah keberanian. Selain itu, keterbatasan mengajarkan agar anak banyak bersabar dan bersyukur kepada Allah.

Bilamana kita menilik orang-orang besar, mereka tidaklah lahir Dari kondisi yang nyaman. Rasulullah SAW menjadi yatim sejak usia yang dini, diuji dengan berbagai macam cobaan. Beliau sudah diberi tanggungjawab untuk menggembala kambing di usia 10 tahun. Nabi Yusuf AS dibuang ke sumur, dipisahkan dari orang tuanya dan diuji dengan keindahan rupanya. Skenario Allah ini bukan tanpa misi. Hasilnya mereka tumbuh menjadi orang-orang besar, menorehkan peradaban yang gemilang.

Teringat nasihat guru Matematika jaman SMA dulu, Pak Zulhiswan (alm): pelaut ulung tidak lahir dari ombak yang tenang. 



Featured image: pesisir selatan Flores, Nangalili


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Hikmah Dibalik Pertempuran Tebing Merah

Mbel

Kurikulum Sekolah Kajian Strategis