Kelana di Pulau Bunga #2: Menikmati Pesona Kampung Tololela


Malam Pertama

23 September 2016 malam saya menerobos gelapnya jalan ditengah-tengah hutan menuju kaki Gunung Inerie. Saya bertolak dari Ruteng ke Bajawa, kemudian dijemput oleh Andre, Mbak Brina dan Om Falen. Andre dan Mbak Brina merupakan rekan kerja di INDECON, sedangkan om Falen adalah ketua LPPT (Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela). Kali ini saya ditugaskan ke kampung adat di kawasan Jerebuu, Tololela. Kebetulan sekali saat saya tiba di Tololela, listrik sedang padam. Bersyukur saat langit sedang tidak mendung sehingga ribuan bintang bertaburan indah di Tololela. Literally a sky full of stars!

Berbekal senter, saya coba menerawang bagaimana wujud Sa’o (rumah adat suku Ngadha) di kampung ini. Saat memasuki tanah lapang di tengah kampung, tampak ada 4 rumah kecil dengan atap limas dari daun ilalang. Rupanya itulah yang disebut Bhaga. Di seberangnya, terdapat 4 atap kerucut yang disangga tiang hitam. Inilah yang disebut Ngadhu. Bhaga merupakan simbol nenek moyang perempuan, sedangkan Ngadhu adalah simbol nenek moyang lelaki. Ngadhu dan Bhaga ini biasanya digunakan sebagi tempat untuk persembahan saat ritual-ritual adat berlangsung.

3 Ngadhu dan 3 Bhaga yang saling berhadapan 

Setibanya di Sa’o tempat kami menginap, Mama Ide menyambut kami dengan senyum hangatnya. Mama Ide hanya tinggal dengan mamanya yang biasa kami sapa Oma Vero. FYI, Oma Vero ini salah satu perempuan di Tololela yang masih memintal benang sendiri dari kapas. Selain berkebun, Mama Ide juga memiliki kesibukan menenun, aktif di lembaga kerohaniaan dan menjadi sekretaris LPPT. Mama Ide dan Oma Vero ini sudah kami anggap ibu dan nenek sendiri. Setiap kami bertugas ke Tololela, rumah yang kami tuju pertama kali adalah Mama Ide punya Sa’o ini.  Mau tidur, makan, mandi, cuci baju, masak, kami dibebaskan mau ngapain aja disini. Pokoknya Mama Ide ini baiknya tumpah-tumpah. I do love you, Mama!

Sembari menunggu jamuan makan malam, kami ngobrol-ngobrol dan nyeruput kopi. Malam pertama di Sa’o ditemani kopi arabika Flores Bajawa, nikmatnya!

Oma Vero sedang menyiapkan benang untuk menenun

Perangkat untuk memintal benang Oma Vero punya

Sa’o

Gunung Inerie yang indah mulai terlihat saat sang surya mulai terbit. Tepat di kaki gunung tersebut, terhampar kampung adat Tololela (650 mdpl), tempat saya menghabiskan waktu beberapa hari terakhir ini. Tololela merupakan salah satu kampung di Desa Manubhara, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada Flores yang masih mempertahankan Sa’o (rumah adat suku Ngadha) sebagai tempat tinggal. Sa’o terbuat dari kayu, bambu, dan alang-alang dengan pondasi batu. Tiang utama Sa’o harus terbuat dari kayu pohon dalu (Albiza procera). Hal ini menuntun masyarakat untuk melestarikan kawasan hutan di sekitar kampung, sehingga bahan baku pembuatan Sa’o tetap tersedia.

Saat saya berbincang dengan bapak Andreas, beliau bercerita bahwa Sa’o tidak sebatas tempat tinggal, tetapi juga menyimpan nilai-nilai sakral. Masyarakat di Kampung Tololela masih memegang kuat niali, adat istiadat dan ajaran dari para leluhur mereka. Sa’o, tanah dan leluhur adalah satu kesatuan yang utuh dan melambangkan kesuburan. Sa’o menjadi simbol rahim ibu atau leluhur, sementara tanah merupakan simbol kesuburan yang berasal dari ibu bumi.


Sebagai pusaka warisan leluhur, sampai saat ini Sa’o masih dilestarikan oleh masyarakat Tololela. Bentuk, filosofi, ornamen dan tahapan pembangunan rumah adat masih terus dipatuhi oleh mereka. Sa’o merupakan elemen utama dalam kampung adat suku Ngadha. Menghadap ke halaman kampung, jumlah Sa’o yang terdapat di kampung adat menunjukkan berapa banyak klan yang menetap. Di Tololela, terdapat 31 Sa’o yang terbagi dalam 2 hamparan. Hamparan atas atau biasa disebut kampung atas dengan dimensi ± 117 x 68 m2 yang memuat 21 Sa’o, sedangkan hamparan bawah atau kampung bawah dengan dimensi ± 150 x 50 m2 yang memuat 10 Sa’o. Sa’o milik Mama Ide tempat saya menginap terletak di kampung bawah, meski secara geografis berada di perbatasan kampung atas dan kampung bawah.


Semangat kekeluargaan dan kebersamaan masyarakat suku Ngadha masih tertancap kuat dalam kehidupan mereka, seperti yang digambarkan dalam tata ruang dan arsitektur kampung. Penataan Sa’o dan elemen kampung adat saling melengkapi satu sama lain, bukan saling meniadakan. Pembagian ruang semata-mata ditujukan untuk penghormatan terhadap yang lebih tua, perempuan atau fungsi tertentu.

Bombardom

Syahdu menyelimuti saat lagu “Padamu Negeri” menggema di Kampung Tololela, selepas hujan sore itu yang dibawakan oleh barisan Bombardom Mama-Mama dan bapak-bapak berseragam kain adat suku Ngadha. Bombardom merupakan alat musik tiup tradisional khas Kabupaten Ngada berupa dua bambu yang ditiup pemainnya secara berkelompok. Pemain Bombardom meniup bambu yang lebih kecil kedalam bambu yang lebih besar. Untuk menghasilkan pantulan suara, udara yang keluar dari mulut pemain Bombardom harus benar-benar ditiupkan secara keseluruhan kedalam bambu. Jika saat meniup ada celah kosong antara mulut dan bambu, maka tidak akan mengasilkan pantulan suara. Menurut Bapak Romanus, dikatakan sukses meniup Bombardom apabila sudah terdengar pantulan suara. Saya mencoba berkali-kali untuk bisa menghasilkan suara Bombardom. Saat saya sukses menghasilkan suara “buuuuuum”, seketika mama-mama dan bapak-bapak pemain Bombardom bertepuk tangan memberi selamat! Horray!
Pasukan Bombardom Kampung Adat Tololela

Pantulan suara didalam bambu Bombardom akan menghasilkan suara sopran atau baritone secara bergantian tergantung cara meniupnya. Biasanya, penampilan Bombardom diiringi dengan alat musik bambu lainnya yaitu seruling, gendang dan Foi Doa (seruling ganda khas Ngada). Dulu, alat musik Bombardom sering dimainkan saat acara pesta adat, menerima tamu dan mengiringi pengantin saat pernikahan. Namun, saat ini hanya beberapa kampung adat saja yang masih melestarikan budaya ini, salah satunya adalah Kampung Tololela. Pada tanggal 19 September 2015, Kampung Tololela berhasil memecahkan rekor MURI lewat Pagelaran Musik Tiup Tradisional Bombardom dengan peserta terbanyak, yaitu 510 orang memainkan alat musik Bombardom. Selain orang dewasa, masyarakat Tololela turut mengundang anak-anak SD, SMP dan SMA. Menurut Mama Ide, festival ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan kembali alat musik Bombardom yang saat ini sudah jarang digunakan oleh masyarakat Ngada, terutama ke generasi muda.

Alat musik khas tradisional memang seyogyanya kembali dilestarikan. Baik Bombardom maupun seruling, alat-alat tersebut dibuat sendiri oleh masyarakat Tololela. Bambu yang digunakan mereka ambil sendiri di kebun yang mengelilingi kampung adat. Dahulu, pohon bambu juga berfungsi sebagai benteng pertahanan kampung adat, terutama dari hembusan angin kencang. Bombardom memiliki nilai-nilai luhur yang bisa dipelajari. Selain alami dan diproses secara konvensional, bombardom juga mengajarkan arti keharmonisan dan keselarasan hidup.

Menghabiskan waktu di kampung adat Tololela yang asri, ditemani obrolan hangat, seduhan kopi arabika Flores Bajawa lengkap dengan ubi rebus adalah kenikmatan tersendiri untuk mensyukuri karunia-Nya, menghikmahi setiap peristiwa, juga mengisi masa lajang yang penuh gejolak membara, eh.

Selagi masih muda, mari berkelana ke Tololela dan dengarkan suara Bombardom menggema!

Gunung Inerie yang agung
Kopra hasil panen masyarakat Tololela
Hiasan yang dipajang di teras Sa'o: tanduk kerbau
Kampung Atas Tololela
Bhaga




Komentar

  1. Balasan
    1. Iya. Dulu ga nyangka masih ada kampung kayak gini di Indonesia. Alhamdulillah dipertemukan

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Hikmah Dibalik Pertempuran Tebing Merah

Mbel

Kurikulum Sekolah Kajian Strategis