Postingan

Kelana di Pulau Bunga #3: Lahir di Jalan

Gambar
Joy dan Athen Sudah tiga hari matahari tak terlihat di Waerebo. Kabut menyelimuti kampung yang dingin. Lampu solar cell sudah tak bisa menyala terang. Masyarakat tidak bisa pergi ke kebun. Tampaknya air hujan sedang senang-senangnya turun Waerebo. Bunga kopi pun berguguran, tak jadi berbuah. Hari itu adalah hari kelima, hari terakhir pelatihan kriya di Waerebo. Pelatihan kali ini tentang penggunaan pewarna alami untuk produk tenun dan anyaman. Selepas penutupan dan foto bersama, mama-mama mengajak kami (tim dari INDECON) menyantap kudapan sore: bakpao dan menikmati kopi panas. Rupanya mama-mama yang tidak ikut pelatihan, dari pagi mereka sibuk di dapur untuk membuat bakpao. Menghadirkan bakpao di Waerebo tentu sebuah ‘perjuangan’ besar. Mama-mama harus membeli gandum di Kampung Dintor, pasar saban Senin dekat pantai di bawah sana, kemudian  mengangkutnya ke Waerebo. Jarang sekali mama-mama membuat kue, kecuali di hari-hari besar atau acara spesial. Sewaktu ada acara Penti (

Remote Working

Gambar
“Kerjanya dimana sih mbak?” “Masuk siang terus ya? Kok kayaknya santai banget” “Lho kok nggak ada kantornya?” “Kerjanya ngapain sih? ” Segenap pertanyaan diatas sering kali saya dapati dari orang-orang di sekitar yang ingin tahu tentang pekerjaan yang saya geluti. Terkadang harus menjelaskan beberapa kali, terutama kalau yang menanyakan orang-orang tua. Pasalnya, saya berbeda dengan pakem kebanyakan orang: bekerja dengan pergi pagi pulang petang dan harus hadir di kantor tertentu. Atasan dan kantor saya di Jakarta, sementara saya bekerja dari daerah lain. Remote working, istilah populernya. Semarang-Temanggung: Semi Urban Remote Working Terhitung sejak 10 Agustus 2018, saya menjalani remote working dengan mobilitas Semarang-Magelang-Temanggung. Magelang adalah kampung halaman dimana rumah dan keluarga berada, sedangkan Semarang dan Temanggung adalah project area yang saya garap saat ini. Pekerjaan saya tidak menuntut untuk berangkat ke kantor jam 8 dan pulang j
Gambar
Kawan di belakang papan abu-abu Tak mau kah mencandu buku tua bersamaku Berbagi cawan nasihat & ilmu Akan ku dengarkan semua ceritamu Berikan tawaku untuk candamu Aku rindu masa Api semangat kita membara Melawan piciknya mayapada Tak peduli perut kosong & citra dunia Demi kearifan batin yg sesungguhnya Barangkali sudah Bukan saatnya memupuk asa terlalu bungah Menunggu aku lelah Aku sadar, kau tak pernah singgah Aku dan harapan Kau dan misteri Aku di paruh waktu Kau masih abu-abu In frame : Dermaga Pelabuhan Tilong, Labuan Bajo

Sejenak di Jakarta

Gambar
Desing suara Kereta Api Sembrani memecah hening peron stasiun KA Tawang. 31 Juli 2018 malam adalah kali pertama saya menjejakkan kaki di stasiun yang berlokasi di Ibu kota Jawa Tengah ini. Kali pertama juga mencecap kereta api kelas eksekutif (dibayarkan kantor FYI, hehe). Biasanya, KA kelas ekonomi yang mengantarkan saya ke tempat-tempat peraduan. Bertolak dari Semarang pukul 22.00 WIB, Jakarta adalah tujuan perjalanan saya malam itu. Terakhir kali saya ke Jakarta awal Desember tahun lalu, saat resign dari INDECON (Indonesia Ecotourism Network) ditemani kepingan-kepingan memori kelana di Flores yang akan selalu saya syukuri. Kereta Api Sembrani Pukul 4.20an saya sampai di stasiun KA Gambir, kemudian menuju penginapan di daerah Setia Budi dengan Grab Car. Setelah shalat subuh dan rehat sebentar, saya bersiap-siap menuju ke kantor di Menara Duta Building. Bermodalkan Google maps , sampai juga saya di kantor baru: Plan International Indonesia. Bismillah, project baru! Com

Menggenap

Gambar
Sekitar 24 tahun lalu dia hadir di tengah-tengah keluarga kami. Sekira saat saya hampir berusia 3 tahun. Adek, atau biasa kami sekeluarga sapa Fai, 12 tahun menjadi anak bungsu, separuh dari umurnya saat ini. Aqiqah kami berdua berbarengan, tersebab saat saya lahir kondisi finansial keluarga kurang memungkinkan untuk menyelenggarakan aqiqah. Masa kecil adek tak dapat dipisahkan dari masa kecil saya. Masih teringat betul dalam memori, betapa manjanya adek dulu sebelum si ragil lahir. Sewaktu kami masih di sekolah dasar dulu, kalau ada yang mengganggu dan bikin adek menangis, saya pasang badan paling depan! Saya acungkan sapu kelas (sambil mengancam, halah). Haha. Konyol memang. Tak dinyana, adek yang dulu selalu saya bela kini sudah memperistri anak orang. Soal asmara memang adek lebih trengginas .  Mbakmu kalah, le! haha Jumat, 6 Juli kemarin adek mengucapkan sumpah sucinya, mengambil alih amanah seorang ayah atas putrinya. Saya ikut dag dig dug menyaksikan momen bersatunya

Kelana di Pulau Bunga #2: Menikmati Pesona Kampung Tololela

Gambar
Malam Pertama 23 September 2016 malam saya menerobos gelapnya jalan ditengah-tengah hutan menuju kaki Gunung Inerie. Saya bertolak dari Ruteng ke Bajawa, kemudian dijemput oleh Andre, Mbak Brina dan Om Falen. Andre dan Mbak Brina merupakan rekan kerja di INDECON, sedangkan om Falen adalah ketua LPPT (Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela). Kali ini saya ditugaskan ke kampung adat di kawasan Jerebuu, Tololela. Kebetulan sekali saat saya tiba di Tololela, listrik sedang padam. Bersyukur saat langit sedang tidak mendung sehingga ribuan bintang bertaburan indah di Tololela. Literally a sky full of stars! Berbekal senter, saya coba menerawang bagaimana wujud Sa’o (rumah adat suku Ngadha) di kampung ini. Saat memasuki tanah lapang di tengah kampung, tampak ada 4 rumah kecil dengan atap limas dari daun ilalang. Rupanya itulah yang disebut Bhaga. Di seberangnya, terdapat 4 atap kerucut yang disangga tiang hitam. Inilah yang disebut Ngadhu. Bhaga merupakan simbol nenek moyang pe

Si Ragil Masuk Pesantren

Gambar
Malam ini rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Suhu udara kaki Gunung Andong menambah suasana terasa sepi. Tak ada lagi keluhan-keluhan adek ragil (bungsu) kalau keinginannya tak dipenuhi atau tidak sesuai harapan. Tak ada lagi suara ribut Ibuk ngopyak-ngopyak (nyuruh) adek segera bergegas setiap waktu shalat. Tak ada lagi saya bawel menanggapi adek yang masih ceroboh dan kemproh (belum bisa rapi, bersih) 😂. Dan masih banyak lagi rutinitas yang hilang beberapa hari terakhir. Sudah  seminggu adek belajar hidup mandiri, mondok . Terhitung tanggal 7 Juli 2018 adek berstatus santri di SMP IT At Taqwa. Sebagai ikhtiar supaya anak-anaknya menjadi pribadi yang baik dan taat beragama, Bapak dan Ibuk mengirim kami ke pesantren selepas SD atau SMP.  Saat usia saya memasuki tahun ke 15, akhir April dini hari adek lahir dengan tangis kencangnya. Sementara adik laki-laki saat itu tepat berusia 12 tahun. Ya, kedua adik saya lahir di tanggal yang sama. Saya cukup waswas di pesan

Pulang

Gambar
Hampir 2 tahun mangkrak memang sungguh keterlaluan. Kalau diibaratkan rumah, mungkin blog ini sudah sampai jadi debu. Maafkan saya, hiks. Pertengahan tahun 2016 s.d 2017 kemarin memang waktu terkuras untuk empowerment project di Flores. Selain waktu yang terbatas, keberadaan aliran listrik dan jaringan internet yang terbatas juga menambah kemalasan saya buat menulis. Kalau ada listrik ya sebisa mungkin saya gunakan untuk merampungkan report kerjaan yang harus segera dikirim ke kantor pusat di Jakarta. Padahal banyak sekali golden moment yang bisa menjadi bahan dan ide untuk tulisan. Sementara 6 bulan ke belakang, saya sedang fokus merintis usaha di rumah: Wedangbanimansyur. Pelan-pelan juga terseok-seok rasanya mengurus bisnis sendiri. Meskipun untuk produksi saya kerjasama dengan Ibuk, tapi urusan manajemen, marketing, bahkan desain kemasan pun saya urus sendiri. Guna meminimalisasi biaya produksi, kalau kata dosen jaman kuliah dulu. Being newbie entrepreneur means you ha

Kelana di Pulau Bunga #1: Mengibas Dingin Negeri Diatas Awan, Waerebo

Gambar
Karena value of time bersama komunitas jauh lebih berharga dari value of money , 30 Juli 2016 saya bulatkan tekad, saya harus berangkat ke Pulau Bunga, Flores! *** 18 Agustus 2016. Setelah mendarat di Labuan Bajo sekitar pukul 15.30 WITA, perjalanan kami berlanjut menuju kampung Tado, Manggarai Barat. Di Tado, saya berkenalan dengan om Mias dan keluarganya. Ayah om Mias merupakan Tua Golo (ketua adat) disini. Menghabiskan senja dan makan malam nasi merah di Tado, pukul 20.30 kami menuju Ruteng, tempat dimana kantor rumah penempatan saya. Jumat pagi, udara dingin yang begitu menusuk rupanya sangat menggoda untuk menarik selimut kembali. Sekitar pukul 9 kami lanjutkan perjalan dari Ruteng menuju Waerebo. 3 jam didalam mobil menyusuri jalanan aspal nggronjal dan berkelok-kelok dari Ruteng sampai Dintor membuat perut terasa mual dan kepala pening. Tapi semua itu terbayar dengan pemandangan di sepanjang jalan. Terlebih ketika mulai memasuki daerah pantai, terlihat pulau cantik yang