Menggenap


Sekitar 24 tahun lalu dia hadir di tengah-tengah keluarga kami. Sekira saat saya hampir berusia 3 tahun. Adek, atau biasa kami sekeluarga sapa Fai, 12 tahun menjadi anak bungsu, separuh dari umurnya saat ini. Aqiqah kami berdua berbarengan, tersebab saat saya lahir kondisi finansial keluarga kurang memungkinkan untuk menyelenggarakan aqiqah. Masa kecil adek tak dapat dipisahkan dari masa kecil saya. Masih teringat betul dalam memori, betapa manjanya adek dulu sebelum si ragil lahir. Sewaktu kami masih di sekolah dasar dulu, kalau ada yang mengganggu dan bikin adek menangis, saya pasang badan paling depan! Saya acungkan sapu kelas (sambil mengancam, halah). Haha. Konyol memang.

Tak dinyana, adek yang dulu selalu saya bela kini sudah memperistri anak orang. Soal asmara memang adek lebih trengginasMbakmu kalah, le! haha
Jumat, 6 Juli kemarin adek mengucapkan sumpah sucinya, mengambil alih amanah seorang ayah atas putrinya. Saya ikut dag dig dug menyaksikan momen bersatunya 2 insan ini. Saya bersereniti: tersenyum dalam air mata haru. Baarakallah walhamdulillaah.. Selamat menunaikan ibadah rumah tangga yo, le. Selamat mendewasa!

Medio tahun 2017, adek meminta izin ke Bapak dan Ibuk untuk menikah. Adek merasa memang sudah masanya untuk menggenapkan separuh agama. Saat itu saya masih menjalani masa tugas di Flores. Tak masalah buat saya 'dilangkahi' adek menikah. Sementara Ibuk kekeuh, pokoke mbak Iim sik! Saya pikir, untuk menghindari banyak fitnah (interaksi yang berlebihan, misalnya) lebih baik disegerakan. Toh sudah ketemu dengan sosok yang diinginkan, berbeda dengan saya yang masih misteri siapa jodohnya (halah). Saya mengerti kenapa Ibuk kekeuh dengan pendiriannya. Bagi Ibuk, adek saat itu masih labil. Belum saatnya menanggung tanggung jawab dan amanah menjadi seorang kepala rumah tangga. Belakangan, saya merasakan betul bahwa Ibuk sangat menginginkan agar saya segera menikah terlebih dahulu. Sampai pada akhirnya setahun berlalu, Ibuk mengizinkan adek menggenap mendahului saya. Walau Ibuk harus menghadapai serbuan pertanyaan entah dari tetangga atau sanak saudara mengapa anak perempuannya tak kunjung menikah. Entah beban seperti apa yang harus dihadapi Ibuk.

Saya tahu di setiap sepertiga malamnya, doa-doa panjang Ibuk tak lain untuk kebaikan dan kebahagiaan anak-anaknya. Tak jarang diselingi dengan isak tangis yang ditahan agar tak bersuara. Kalau kata Mas Tasaro GK, orang tua berair mata untuk anak-anak mereka. Di hadapan ataupun pada kesunyian doa-doa mereka. Tak dalam cinta tanpa air mata.

How deep is your love, Ibuk. Maafkan anakmu 😥

Saya sendiri juga dihujani pertanyaan:
Kamu kapan?
Kamu nggak apa-apa dilangkahi adekmu?
Sampai kapan nggak siap? 
dan segudang pertanyaan lain yang saya sendiri bosan merapal jawaban-jawaban yang sama. 

Sampai akhir tahun kemarin memang saya tak begitu memikirkan persoalan menikah. Entah kenapa hati saya lebih tergugah untuk merencanakan project-project masa depan terutama di bidang community development. Saya lebih khawatir ketika keberadaan saya di tengah-tengah masyarakat alpa memberikan kebermanfaatan, dibandingkan kekhawatiran telat menikah. Malu rasanya kalau ingat Bung Hatta tidak mau menikah sampai Indonesia merdeka, Bang Said Tuhuleley tidak mau menikah sampai Orde Baru tumbang. Orang-orang besar yang mau berkorban seperti mereka betapa mulia kehidupannya. 

Namun, belakangan saya menyadari bahwa saya adalah anak perempuan Bapak dan Ibuk, sebelum menjadi siapapun. Saya tak boleh egois. Memang tugas kita sebagai anak untuk berbakti kepada orang tua, termasuk mewujudkan impiannya. Keinginan Bapak dan Ibuk sederhana: agar saya segera menikah dengan lelaki yang shaleh dan bertanggungjawab. Meskipun bagi saya itu bukan perkara sederhana. Butuh waktu untuk meyakinkan diri sendiri bahwa saya memang sudah saatnya menikah, sudah saatnya berhenti menuruti ego diri. Menikah dan punya anak tak selamanya indah. Banyak yang harus dipertimbangkan dan dipersiapkan. Bagi saya, menikahlah ketika sudah selesai dengan dirimu sendiri. A lot of thing changes after married. Menikah itu challenging. It is not all glory.

Boleh tidak siap, tapi jangan lupa bersiap-siap. Paling tidak ada 3 hal yang harus saya siapkan: ilmu, mental dan  materi. Kapan dan dengan siapa, biar Allah yang skenariokan. Beberapa kali ada yang hadir tapi belum ada yang klik. Tak masalah, toh karena memang belum jodoh. Saya yakin waktu  dan sosok yang Allah gariskan tidak pernah hadir di saat yang tidak tepat.

"Allah has perfect timing. Never early, never late. It takes a little patience and it takes a lot of faith. But it's worth the wait", Syeikh Bilal Philip




Featured image: suatu sore di pesisir selatan Flores, Ende

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Hikmah Dibalik Pertempuran Tebing Merah

Mbel

Kurikulum Sekolah Kajian Strategis