Menilik Hikmah Dibalik Pertempuran Tebing Merah


Sekuel film berjudul Red Ciff yang diambil dari novel Sam Kok ini cukup menarik untuk dicermati. John Woo mampu menyajikan sebuah epik menjadi sebuah film laga kolosal spektakuler. Fokus perhatian saya terletak pada pesan moral tentang kepemimpinan inspirasional yang disampikan dalam film ini.
Pertama, sosok Liu Bei yang memimpin dengan hati, mengedepankan kebersamaan dan kemaslahatan. Salah satu adegan yang menurut saya sangat powerful adalah saat pertempuran Changban, dimana Liu Bei harus membawa pengungsi di tengah serbuan pasukan Cao Cao. Ketika seorang komandan melapor kepadanya, “Yang Mulia, para pengungsi ini memperlambat kita. Untuk mengurangi kerugian pasukan, kita sebaiknya meninggalkan mereka!” Liu Bei seketika itu langsung berang, “Apa?” katanya, “Mereka ini semua rakyat Han. Mereka di sini mengikuti kita karena Cao Cao menganiaya mereka. Jika kita tidak bisa menawarkan perlindungan kepada mereka, lalu apa artinya kita berperang?”. Adegan ini menggambarkan sosok pemimpin yang tidak egois mementingkan diri sendiri,  sekalipun istrinya saat itu gugur.
Satu lagi adegan yang cukup menginspirasi. Seusai kekalahan di Changban, Liu Bei digambarkan tekun menenun kasut bagi pasukannya, sedangkan anak-anak tetap menjalani pelajaran membaca. Hal ini menunjukkan ketenangan moril dan pengharapan yang kuat di tengah masa krisis. Kasut rumput itu sendiri nantinya dijemba oleh Zhou Yu, dijadikan simbol kukuhnya kesatuan, dibandingkannya dengan sehelai rumput yang rapuh dan mudah putus. Meskipun kalah jumlah pasukan dari Cao Cao, Liu Bei dikelilingi sejumlah panglima terkemuka yang menaruh hormat pada kepemimpinannya. Pasukan Cao Cao, sebaliknya, lebih mirip gerombolan yang terpaksa patuh karena ditaklukkan, tidak bisa ditebak loyalitasnya.
Kedua, tokoh mengagumkan lainnya adalah si Ahli Strategi perang Liu Bei, Zhuge Liang. Dari diri yang memiliki pembawaan kalem dan rendah hati ini kita dapat mengambil hikmah tentang begitu pentingnya strategi dan perencanaan. Strategi taktis yang diusulkannya mampu mengantarkan pada kemenangan perang. Dalam ilmu manajemen dan kepemimpinan, salah satu pilar penting yang tidak boleh dilupakan adalah perencanaan.
Ketiga, sosok selanjutnya adalah Zhou Yu. Ahli strategi dan Advisor Sun Quan dari negara Wu. Zhou Yu terasa menonjol dengan kepiawaiannya bermusik, kepandaiannya berstrategi, keterampilannya bertempur. Meskipun dalam hal strategi menurut saya masih kalah dengan Zhuge Liang. Dari sosok Zhou Yu, kita dapat belajar kepemimpinan yang cerdas dan piawai.
Selain 3 sosok diatas, ada 1 orang yang cukup menarik dalam cerita Red Cliff  ini.  Zhao Yun, jendral Liu Bei, banyak dicintai orang berkat kegagahannya. John Woo pasti salah satu pecintanya, karena menempatkan adegan pertempurannya saat menyelamatkan putra Liu Bei di pembuka film.
Bila kita cermati, dalam cerita Red Cliff ini terdapat beberapa pemimpin dengan karakter khas masing-masing. Lihatlah Liu Bei dengan gaya kepemimpinannya yang rendah hati, Zhou Yu yang sangat menonjol dengan kecerdikan dan keberaniannya, juga Cao Cao yang ambisius dan relatif otoriter. Pada akhirnya, Cao Cao bertekuk lutut setelah koalisi pasukan Liu Bei, Zhou Yu dan Sun Quan bersatu.
Secara garis besar, banyak pelajaran yang bisa diambil dari film Red Cliff ini. Pesan moral yang paling dominan menurut saya adalah kepemimpinan inspirasional dan pentingnya strategi serta perencanaan. Mungkin di musim PEMIRA UGM ini, kepemimpinan dalam film kolosal ini bisa direfleksikan. Sosok seperti apakah sebenarnya pemimpin yang saat ini dibutuhkan? Tentu bukanlah sosok Cao Cao. Perpaduan kepemimpinan antara Liu Bei, Sun Quan Zhuge Liang dan Zhou Yu boleh dibilang cukup adaptable. Dimana didalamnya terdapat kepemimpinan inspiratif, cerdas, strategis dan taktis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbel

Kurikulum Sekolah Kajian Strategis