Kelana di Pulau Bunga #3: Lahir di Jalan
Joy dan Athen |
Sudah tiga hari
matahari tak terlihat di Waerebo. Kabut menyelimuti kampung yang dingin. Lampu solar cell sudah tak bisa menyala
terang. Masyarakat tidak bisa pergi ke kebun. Tampaknya air hujan sedang
senang-senangnya turun Waerebo. Bunga kopi pun berguguran, tak jadi berbuah.
Hari itu adalah
hari kelima, hari terakhir pelatihan kriya di Waerebo. Pelatihan kali ini
tentang penggunaan pewarna alami untuk produk tenun dan anyaman. Selepas
penutupan dan foto bersama, mama-mama mengajak kami (tim dari INDECON)
menyantap kudapan sore: bakpao dan menikmati kopi panas. Rupanya mama-mama yang
tidak ikut pelatihan, dari pagi mereka sibuk di dapur untuk membuat bakpao.
Menghadirkan bakpao di Waerebo tentu sebuah ‘perjuangan’ besar. Mama-mama harus
membeli gandum di Kampung Dintor, pasar saban Senin dekat pantai di bawah sana,
kemudian mengangkutnya ke Waerebo.
Jarang sekali mama-mama membuat kue, kecuali di hari-hari besar atau acara spesial.
Sewaktu ada acara Penti (Hari Raya masyarakat Waerebo), saya diundang ke
beberapa rumah untuk menikmati donat. Lantaran jarang sekali makan kue dan
sejenisnya saat tinggal di Waerebo, sajian bakpao dan donat menjadi istimewa. Terima
kasih mama!
Kopi arabika
panas, bakpao, duduk melingkar didalam niang (rumah adat) sambil selimutan Surak
(sarung tenun) adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hujan deras yang masih
mengguyur Waerebo. Kami pun ngobrol kesana kemari. Obrolan sore itu yang paling
membekas dan masih saya ingat adalah cerita Mama Fin. Ibu beranak 8 ini
bercerita bahwa semua anaknya lahir di Waerebo, tanpa bantuan dokter dan
peralatan medis. Bahkan anaknya yang kedelapan, Athen, lahir saat Mama Fin berada
dalam pendakian pulang menuju Waerebo tahun 2012 lalu. Sekitar 400 meter lagi
Mama Fin dan suaminya, Pak Huber sampai di Waerebo, tapi Mama Fin sudah tidak
kuat menahan kelahiran Athen. Dibantu suaminya, Mama Fin berjuang untuk
berjalan menuju rumah terdekat, rumah Mama Kata. Di rumah itulah akhirnya Mama
Fin menyelesaikan proses persalinannya. Mama Fin dan Athen sehat semua. Saat
menceritakan hal ini Mama Fin bilang,
“Enu (sapaan untuk anak perempuan), mama
pu anak Athen itu sebetulnya mau mama kasih nama Ladija”
“Aduh, macam nama anak perempuan itu mama”
“Karena itu anak lahir di jalan, makanya mau
kasih nama dia LADIJA, LAHIR DI JALAN. Tapi tidak jadi sudah. Hahaha”
Baru beberapa
tahun terakhir ini ada peraturan dari pemerintah yang mewajibkan warganya untuk
melahirkan di Rumah Sakit atau Puskesmas. Rumah Sakit terdekat berada di
Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, sekitar 5-6 jam (2 jam jalan kaki dan 3-4
jam dengan motor atau mobil) dari Waerebo. Sementara Puskesmas berada di
Dintor. Setelah ada peraturan tentang persalinan ini, biasanya ibu hamil yang sudah
memasuki 7-8 bulan akan menetap di Kampung Kombo, kampung kedua masyarakat
Waerebo yang berada di dataran rendah, sehingga tidak terlalu jauh jika sudah
memasuki masa hari perkiraan lahir.
Sebagian besar
masyarakat Waerebo sebenarnya lebih nyaman jika melahirkan di Waerebo, dengan
cara tradisional seperti dahulu. Pasalnya, menurut penuturan mama-mama yang
pernah merasakan melahirkan di Waerebo maupun di Puskesmas atau Rumah Sakit,
proses pemulihan setelah melahirkan akan lebih cepat jika mereka melahirkan
dengan secara tradisional. “Ada ramuan
tradisi (obat tradisional) yang dibuat oleh orang-orang tua dulu untuk ibu yang
melahirkan. Jadi kami rasa kami cepat sehat itu, Enu. Aih, kalau sekarang
setelah 1-2 bulan, kami baru bisa pulang ke Waerebo”, tutur Mama Fin.
Tingkat kematian
ibu dan bayi di Manggarai memang tergolong masih tinggi. Salah satu dokter di
RSUD Ruteng pernah bercerita bahwa RS ini banyak menangani pasien yang
meninggal saat melahirkan. Suatu pagi sehabis subuh, saya juga pernah bertemu
dengan bidan dari Labuan Bajo yang baru pulang dari RSUD Ruteng mengantarkan
pasien yang akan operasi caesar. Paling
tidak, RSUD Ruteng ini menjadi rujukan dari 3 kabupaten: Manggarai Barat,
Manggarai dan Manggarai Timur. Jangan bayangkan seperti di Jawa, 3 kabupaten di
NTT luasnya seperti 1 provinsi di Jawa. Jauhnya jarak yang harus ditempuh oleh
pasien ke RS juga menjadi salah satu penyebab pasien terlambat ditangani oleh
dokter. Selain itu, banyak juga pasien yang meninggal karena kondisi fisik yang
kurang sehat dan usianya masih terlalu muda. Pernikahan dini di Manggarai (juga
NTT secara umum) memang masih umum. Saya sering bertemu dengan mama-mama muda
yang usianya masih dibawah 20 tahun. Pendidikan seksual dan kesehatan tentang
kehamilan sangat minim mereka dapatkan.
Kesenjangan pembangunan antara Jakarta dan
daerah lain terutama di luar Jawa memang tinggi, baik itu pembangunan
infrastruktur maupun pembangunan kapasitas sumber daya manusia. Sudah 73 tahun
Indonesia merdeka. Semoga pembangunan kesejahteraan semakin merata ke
daerah-daerah, tidak hanya tertumpu di Jakarta dan Jawa.
Jadi kesimpulannya? apakah program pemerintah mewajibkan lahiran di puskesmas/rs terbukti mengurangi angka kematian pas lahiran?
BalasHapusmelihat kondisi medan, apakah prefer melahirkan di waerebo? takutnya banyak anak yang namanya LADIJA karena blm sampe rs udah brojol duluan. wkwk