Remote Working
“Kerjanya dimana sih mbak?”
“Masuk siang terus ya? Kok kayaknya santai
banget”
“Lho kok nggak ada kantornya?”
“Kerjanya ngapain sih?”
Segenap
pertanyaan diatas sering kali saya dapati dari orang-orang di sekitar yang
ingin tahu tentang pekerjaan yang saya geluti. Terkadang harus menjelaskan
beberapa kali, terutama kalau yang menanyakan orang-orang tua. Pasalnya, saya
berbeda dengan pakem kebanyakan orang: bekerja dengan pergi pagi pulang petang dan
harus hadir di kantor tertentu. Atasan dan kantor saya di Jakarta, sementara
saya bekerja dari daerah lain. Remote working, istilah populernya.
Semarang-Temanggung: Semi Urban Remote
Working
Terhitung sejak
10 Agustus 2018, saya menjalani remote working dengan mobilitas
Semarang-Magelang-Temanggung. Magelang adalah kampung halaman dimana rumah dan
keluarga berada, sedangkan Semarang dan Temanggung adalah project area yang
saya garap saat ini.
Pekerjaan saya
tidak menuntut untuk berangkat ke kantor jam 8 dan pulang jam 17 setiap
harinya, tidak terikat 8 office hours. Toh memang tidak ada kantor disini,
hehe. Saya bisa mengerjakan tugas dimana saja, kapan saja, sambal ngapain aja,
yang penting kerjaan rampung dan report well accepted. Selain itu, karena
pekerjaan saya adalah empowerment project maka 50% pekerjaan saya adalah
pekerjaan di lapangan: menyambangi masyarakat yang menjadi beneficiaries proyek
dan berkoordinasi dengan berbagai stakeholders (pemda, pemdes, mitra).
Sebagai project
holder, saya punya kebebasan untuk menentukan kapan saya harus bekerja dan
kapan waktunya istirahat, dengan tetap berada dalam koridor kode etik yang
dimiliki organisasi tempat saya bekerja. Atasan dan tim administratif saya ada
di Country Office, Kuningan Jakarta. Koordinasi dilakukan via WhatsApp, email,
skype dan telepon. Kalau ada pekerjaan di lapangan yang dirasa tidak
memungkinkan saya handle sendiri, tim dari Jakarta akan turun ke lapangan.
Saat tugas di
Semarang, kalau tidak ada tugas lapangan, biasanya saya remote working di
Perpustakaan Daerah Jawa Tengah. Bagi saya, perpustakaan memang co-working
space yang cukup kondusif dan tenang. Pernah mencoba beberapa kali di co-working
space yang bergabung dengan kafe atau tempat nongkrong lainnya, tapi ternyata
mahal di ongkos dan kadang sedikit terganggu dengan keramaian juga. Kalau
sedang malas keluar dan ketemu banyak orang, saya biasanya remote working di
kosan, sambil gegoleran dan tidak perlu pakai baju rapi, hehe. Setel musik pun
bebas, yang penting selesai tugas-tugas.
Berbeda dengan
di Semarang, kalau sedang di Magelang-Temanggung: tugas ke lapangan full di
Temanggung dan untuk pekerjaan administratif biasanya saya kerjakan di rumah.
Kalau di rumah, harus siap-siap terdistraksi oleh keponakan-keponakan yang
sedang aktif-aktifnya.
“Bulek Iim, ayo main semprot-semprotan di
luar”,
“Bulek Iim itu apa? Panda po?”, sambil
nunjuk laptop. Sebenarnya ini kode minta nonton Kungfu Panda, hehe.
Kalau sudah
diserbu keponakan begini, saya memilih tutup laptop dan bermain sejenak dengan
mereka. Kecuali kalau tugas yang sedang saya kerjakan sangat penting dan
mendesak, maka saya minta tolong Ibuk untuk mengurus keponakan dulu.
Sejauh ini tidak
ada kendala yang cukup berarti dengan remote working dan tak punya kantor. Hanya
saja, karena saya sendirian yang di lapangan untuk project ini, terkadang ada
kebutuhan-kebutuhan diskusi secara langsung yang tidak bisa terpenuhi.
Flores: Rural Remote Working
Perpindahan adalah nafasku, kata mas
Agustinus Wibowo.
Saat tugas di
Flores dulu, mau tak mau saya harus menjadi nomad: menjalani moving life antara
kantor (sekaligus rumah dinas) dan kampung-kampung dampingan. Misalnya 3 hari
di kantor, 2 pekan di Waerebo, 1 pekan di Nampar Macing, 3 hari di kantor,
sepekan di Bajawa, dst. Karena tuntutan moving life ini, saya belajar betul
hidup minimalis: hidup dengan satu daypack ukuran 35 L yang berisi pakaian
secukupnya, alat shalat, laptop, minyak kayu putih (obat andalan buat menangkal
nyamuk dan serangga di kampong, hehe), buku dan alat mandi. Alhamdulillah
kemana-mana pakai sandal gunung dan baju tanpa disetrika (listrik aja terbatas
gimana mau setrika) tetap enjoy. Tidur dimana saja, juga tak masalah. Rumah
warga, gudang homestay, gubuk di tengah sawah, saya pernah mencobanya.
Saat rural
remote working begini, saya tidak terikat jam kerja layaknya 8 office hours.
Jam kerja suka-suka, yang penting tugas-tugas selesai. Saya juga jarang sekali
membuka laptop saat di kampung. Selain karena pasokan listrik yang terbatas,
sebisa mungkin saat di kampung saya mengoptimalkan interaksi dengan masyarakat
dan menyelesaikan tugas-tugas yang tidak perlu menggunakan laptop. Pelatihan,
supervisi kelompok, mendampingi produksi, quality control, diskusi program,
atau sekedar ngobrol-ngobrol ringan sambil ngopi. Sementara saat ada kesempatan
ke kota, saya optimalkan untuk komunikasi dan mengerjakan report yang harus
dikirim ke kantor pusat. Koordinasi dengan atasan yang ada di Jakarta biasanya
lewat grup WhatsApp, kalau urgent biasanya atasan akan menelpon atau
sebaliknya.
Salah satu
kendala saat rural remote working di Flores adalah susah sekali menemukan masjid/mushala.
Biasanya saya melaksanakan shalat di tempat-tempat yang dirasa cukup bersih dan
suci. Gudang pemda, ruang kepala desa, pinggir pantai, puncak gunung adalah
tempat-tempat yang pernah saya gunakan untuk shalat. Salah satu ibu asuh saya,
Ine Sinta membuatkan tikar pandan khusus untuk saya gunakan saat shalat. Suaminya,
Ame Yoseph berpesan ke saya agar jangan sampai meninggalkan sembahyang, “Inuk, neka hemong berdoa e (anak, jangan
lupa sembahyang ya)”. Ah rindu betul saya dengan Ame dan Ine!
Loc: Tanjung Bendera, Manggarai Timur |
Suatu hari saya
pernah shalat di padang rumput pinggir laut setelah kami melakukan survey ke
salah satu kampung di pesisir selatan Flores. Karena rekan-rekan kerja saya
non-muslim semua, tanpa sepengetahuan saya, mereka mengabadikan momen ini.
Selesai shalat, salah satu kawan, Andre dengan logat bataknya bilang, “Yah Im, harusnya kau tadi jangan shalat
dekat motor itu. Kurang bagus ini jadinya fotoku”. Kami pun tertawa dan
menikmati semilir angin laut kembali. Alhamdulillah dipertemukan dengan kawan-kawan yang relijius. Meskipun berbeda keyakinan, keberadaan mereka menjadi motivasi bagi saya untuk terus memperbaiki diri dalam beribadah, baik itu ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Biker-Backpacker-Remote Worker
Lantaran project
area pekerjaan saya ada di beberapa daerah, jadilah saya
biker-backpacker-remote worker. Mobilitas yang cukup tinggi menuntut saya agar
fleksibel bergerak dari project area satu ke project area yang lainnya. Maka sepeda
motor dan daypack/carrier adalah andalan. Aspal nggronjal pun jadi makanan
sehari-hari saat remote working di Flores dan saya semakin lihai dalam
mengendari motor. Kondisi alam di Flores memang membuat fisik semakin kuat (dan
menghitam tentunya, haha). Dan daypack 35 L sangat reliable saat harus naik
turun ke Waerebo atau ke kampung-kampung lainnya.
Aspal Nggronjal di Jalur Nangalili-Borik, Pesisir Selatan Flores |
Beruntung project
area saat ini lebih ‘manusiawi’, haha. Jalan yang harus saya lalui saat
bertugas ke lapangan sudah cukup bagus dan tidak perlu naik turun gunung. But,
the best view comes after the hardest climb. Keindahan alam di Flores (dengan
segala ‘kerja keras’ yang harus dibayarkan) memang tak tertandingi dengan
project area saya saat ini.
***
TRUST. Satu hal ini adalah modal utama dalam remote working. Seorang atasan yang berani mengizinkan bawahannya remote working harus memiliki modal ini. He/she has to be someone that result oriented. Dia tidak akan mempermasalahkan bagaimana atau dengan cara apa bawahannya menyelesaikan pekerjaannya, yang penting target tercapai dan tidak melanggar aturan yang telah disepakati.
Komunikasi yang
efektif juga menjadi kunci keberhasilan dalam remote working. Berhubung tidak
setiap hari ketemu dengan tim kerja, biasanya ada waktu-waktu tertentu yang
harus disepakati sebagai waktu yang selalu available untuk dihubungi. Dalam kasus
remote working saya, di awal kami (saya dan atasan) menyepakati bahwa di hari
Senin s.d Jumat diantara jam 8 pagi sampai jam 5 sore adalah waktu yang available
untuk dihubungi, kecuali kalau ada urusan lain yang lebih penting. Jadi meskipun
terpisah jarak yang jauh, tetap ada routine boundaries.
Remote worker biasanya
mendapatkan beberapa perlakuan khusus. Karena tidak bekerja di kantor, biasanya
remote worker mendapat fasilitas laptop dan alokasi anggaran untuk internet and
communication expenses. Saya sendiri, selain 2 hal tersebut, biaya transportasi
dan akomodasi saat supervisi ke lapangan juga difasilitasi oleh organisasi.
Remote working is not for everyone, not for
every business. Saya sepakat dengan kalimat Fellexandro Ruby tersebut. Meskipun
banyak yang bilang bahwa remote working sangat cocok untuk millennials terutama
di era industri 4.0 ini, tidak semua orang cocok dengan gaya bekerja tersebut,
atau lebih tepatnya tidak siap. Ada orang-orang yang memang lebih produktif
ketika office working, karena merasa lebih fokus dan diawasi atasan misalnya. Kalau
remote working orang-orang ini biasanya tidak bisa fokus, banyak terdistraksi
dengan hal-hal lain dan akhirnya keteteran. Tentu saja hal ini akan merugikan
organisasi/perusahaan. Pun dengan urusan pekerjaan, untuk pekerjaan-pekerjaan
tertentu mungkin memang tidak bisa dilakukan remotely.
Singkatnya, kita
sendiri yang menentukan gaya bekerja seperti apa yang lebih cocok dan efektif. Karena
urusan pekerjaan, apapun jenisnya, sebenarnya adalah mental game: menuntut
kesiapan mental dan kedewasaan (bertanggung jawab, komitmen, bisa diandalkan). So,
be adult enough and keep up the good work!
Jalan Aspal Terbaik di Jalur Nangalili-Borik, Pesisir Selatan Flores |
Kak Iim, keren deh! Aku suka bacanya �� Sekarang aku juga lagi semi-remote working kak. Walaupun kelihatannya enak tapi ternyata ngga mudah yaa.. Harus pinter mengatur diri, waktu, dan prioritas hahaha
BalasHapus