Kelana di Pulau Bunga #1: Mengibas Dingin Negeri Diatas Awan, Waerebo

Karena value of time bersama komunitas jauh lebih berharga dari value of money, 30 Juli 2016 saya bulatkan tekad, saya harus berangkat ke Pulau Bunga, Flores!
***

18 Agustus 2016. Setelah mendarat di Labuan Bajo sekitar pukul 15.30 WITA, perjalanan kami berlanjut menuju kampung Tado, Manggarai Barat. Di Tado, saya berkenalan dengan om Mias dan keluarganya. Ayah om Mias merupakan Tua Golo (ketua adat) disini. Menghabiskan senja dan makan malam nasi merah di Tado, pukul 20.30 kami menuju Ruteng, tempat dimana kantor rumah penempatan saya. Jumat pagi, udara dingin yang begitu menusuk rupanya sangat menggoda untuk menarik selimut kembali. Sekitar pukul 9 kami lanjutkan perjalan dari Ruteng menuju Waerebo. 3 jam didalam mobil menyusuri jalanan aspal nggronjal dan berkelok-kelok dari Ruteng sampai Dintor membuat perut terasa mual dan kepala pening. Tapi semua itu terbayar dengan pemandangan di sepanjang jalan. Terlebih ketika mulai memasuki daerah pantai, terlihat pulau cantik yang tertidur di seberang sana, Pulau Moles. Ah welok tenan! Salam aspal nggronjal! Hehe
Pulau Moles yang cantik :)

Mobil berhenti di homestay milik om Martinus Anggo di Dintor, salah satu mitra Indecon (NGO dimana saya bekerja). Om Martin merupakan orang Waerebo yang pertama kali memiliki inisiatif menjadikan Waerebo yang khas dan otentik sebagai destinasi wisata, sehingga masyarakat dapat memperoleh penghasilan tambahan untuk menunjag pendidikan anak-anak mereka.
Di tempat om Martin, kami menghabiskan makan siang ditemani pemandangan sawah hijau beserta pantai dan Pulau Moles yang cantik. Nikmat yang mana lagi kau dustakan?!
Perjalanan belum usai. Dari Dintor berlanjut menuju Kampung Kombo kemudian Denge. Dari Denge dilanjutkan ngojek melewati aspal nggronjal kembali menuju pos 1, Wae Lomba. Dari Wae Lomba inilah tracking dimulai!
Om Martin dan Bapak Petrus saat di pos 2, Pocoroko

***
The best view comes after the hardest climb.
Setelah 2,5 jam (termasuk mampir rehat & foto di pos 2 Pocoroko dan pos 3 Nampe Bakok), sampai juga di kampung Waerebo yang elok, asri dan tenang, yeah!

Kampung Adat Waerebo
Satu-satunya kampung adat di Manggarai yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional Mbaru Niang adalah Waerebo. Mbaru artinya rumah, Niang artinya tinggi dan bulat. Bentuk seperti ini melambangkan perlindungan dan persatuan warga Waerebo. Sedang lantai rumah yang berbentuk lingkaran adalah simbol keharmonisan dan keadilan.
Terdapat 7 Mbaru Niang di Waerebo. Salah satunya adalah Niang Gendang atau rumah utama, dimana setiap tamu yang datang ke Waerebo harus Wailuu, semacam "kulo nuwun" dulu disini. Didalam Niang Gendang pula setiap ketentuan adat diputuskan. Benda-benda pusaka yang dikultuskan seperti gendang digantung didekat pintu utama Niang Gendang. Benda-benda pusaka tersebut tidak boleh diletakkan dibawah, harus digantung diatas. Orang Waerebo meyakini jika melanggar ketentuan tersebut, maka akan celaka. Begitulah penjelasan yang saya terima dari Bapak Yosef Katup.

Mama Filo sedang memasak dengan tungku didalam Mbaru Niang


Gendang dan benda pusaka lainnya yang digantung didalam Niang Gendang

Niang Gendang memiliki diameter alas sekitar 14 meter. Sementara Niang Gena (keenam rumah lainnya) masing-masing memiliki diameter alas 11 meter. Didalam Niang Gendang terdapat 8 keluarga, sedangkan Niang Gena ditempati 6 keluarga. Di ruang utama Niang, selain ada ruang pertemuan, terdapat tungku untuk memasak dan makan serta kamar-kamar tidur untuk 6-8 keluarga. Urutan kamar dalam Niang ini ditentukan berdasarkan urutan kelahiran setiap kepala keluarga.
7 Mbaru Niang berdiri di lahan landai mengelilingi altar batu yang disebut Compang. Sebagai titik pusat ketujuh Mbaru Niang, Compang diyakini memiliki nilai paling sakral.


***
Selasa pagi 30 Agustus 2016, saat matahari mulai menghangatkan udara Waerebo yang dingin, saya mendapat kesempatan berbincang-bincang didepan Niang Gendang dengan Bapak Alexander Ngadus, salah satu ketua adat di Waerebo. Senyumnya yang menyejukkan membuat orang betah berlama-lama mendengarkan cerita dari orang tua yang biasa disapa Bapak Alex ini.
Dari penuturan ayah dari tujuh anak ini, saya mendapat cerita konon nenek moyang orang Waerebo yang bernama Empo Maro berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Bagi saya yang masih baru di Waerebo, hal ini cukup mengejutkan. Alkisah Empo Maro beserta kerabatnya berlayar mengarungi lautan dan berlabuh di Labuan Bajo, Flores. Perjalanan mereka lanjutkan ke arah Utara hingga sampai di suatu daerah yang bernama Waraloka. Selanjutnya, Empo Maro berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya mulai dari Waraloka menuju Nangpaang, bergeser ke Todo, Popo, Liho, Modo, Golo Ponto, Ndara, Golo Pando, Golo Damu dan akhirnya menetap di Waerebo. Waerebo menjadi tempat terakhir yang dipilih oleh Empo Maro karena dia mendapat ilham untuk pindah ke tempat lain di arah Timur.

Saat ini, masyarakat yang tinggal di Waerebo merupakan generasi ke-19 dari Empo Maro. Keturunan dari Empo Maro sekarang sudah tersebar di berbagai wilayah, tidak hanya di Waerebo saja. Namun demikian, tambah Bapak Alex, jika orang Waerebo pergi, jiwa dan arwahnya tetap terikat di tanah kelahirannya, Waerebo. Sekali menjadi orang Waerebo, slamanya tetap menjadi orang Waerebo. Bahkan orang yang bukan asli Waerebo tetapi sudah dinobatkan sebagai anak angkat Waerebo dengan upacara adat, ketika mereka pergi dari Waerebo, mereka dianggap sedang pergi merantau dan akan kembali pulang ke kampug halaman Waerebo. Hal ini saya temui langsung ketika beberapa hari kemarin, kang Andi dari Klasik Bean Bandung bercerita bahwa ketika dirinya pulang ke Bandung, dia dianggap sedang merantau ke Bandung dan akan kembali ke kampung halaman Waerebo. Pasalnya kang Andi sudah dinobatkan sebagai anak angkat Waerebo secara adat. Upacara penobatan anak angkat ini dilakukan dengan pemotongan ayam berwarna putih. Orang Waerebo sangat menjaga warisan yang diturunkan oleh leluhur. Mereka masih taat menjalani adat istiadat dan hidup harmonis dengan hutan di sekelilingnya.
***

Setiap pagi saat matahar terbit, masyarakat di Waerebo akan sibuk menggelar terpal untuk menjemur kopi. Sambil menghangatkan badan dengan sinar matahari pagi yang cerah, saya memperhatikan kesibukan mereka. Hampir semua warga Waerebo adalah petani kopi. Saat kita berkunjung ke Waerebo, sebelum memasuki kampung kita akan disuguhkan dengan perkebunan kopi masyarakat. Kopi Waerebo tergolong kopi kualitas baik mengingat iklim Waerebo yang mendukung dan tananhya subur. Selain sebagai roda ekonomi perekonomian masyarakat, perkebunan kopi juga berfungsi sebagai upaya untuk menjaga tanah agar tidak longsor. Kopi Waerebo ditanam dengan sistem dibawah naungan, shaded coffee. Saat ini masyarakat membudidayakan kopi jenis Arabica, Robusta dan Columbia. Masyarakat Waerebo mulai menanam kopi ketika Raja Todo mendapatkan bibit kopi dari Raja Bima dibawah kekuasaan kerajaan Gowa pada abad ke-18. Jenis kopi ini merupakan kopi kualitas unggul sehingga dinamakan Kopi Raja, yang kemudian familiar disebut dengan kopi Arabica. Sementara itu, limbah penggilingan kopi biasanya digunakan untuk pupuk oleh warga Waerebo.


Pohon Kopi di Waerebo

Saat ini petani kopi Waerebo menjual hasil panennya ke Klasik Bean dengan harga Rp30.000,-/kg untuk kopi Arabica. Selain membeli kopi dari petani, Klasik Bean yang diwakili oleh Kang Andi ini juga membina petani kopi Waerebo untuk meningkatkan kualitas kopi mereka. Sebelumnya, mereka menjual kopi mereka ke pengepul di Kampung Kombo dengan harga Rp16.000,- s.d Rp18.000,-/kg.



Warga Waerebo akan menyambut setiap tamu yang datang dengan sangat ramah dan tangan terbuka. Senyuman yang menyejukkan, cerita-cerita yang hangat ditambah seduhan kopi tradisional warga Waerebo akan menemani kita saat berkunjung ke Waerebo.

Mohe Waerebo! (Long live Waerebo!)



***
Perempuan di Manggarai harus bisa menenun. Adalah aib ketika seorang perempuan Manggarai tidak bisa menenun. Begitulah kata Mama Asti saat saya temui sedang menenun dibawah Niang. 

Mama Asti sedang menenun syal

Hampir semua perempuan di Waerebo memiliki rutinitas menenun. Selain sudah menjadi kebiasaan, kegiatan menenun juga bertujuan untuk menambah penghasilan keluarga, terutama dengan adanya pariwisata di Waerebo. Saat ini, mereka menenun beberapa kerajinan antara lain sarung songke, sarung corak, syal dan selendang. Buah karya mama-mama ini akan dijual sebagai souvenir untuk wisatawan yang berkunjung ke Waerebo. Mama-mama di Waerebo biasanya menenun saat waktu kosong. Adapun kegiatan utama mereka adalah memasak, mengurus anak dan keluarga serta memetik kopi dan sayur di kebun. Selain itu, mama-mama yang ikut kelompok, setiap 5 hari sekali mendapat giliran memasak untuk para wisatawan. 

Mama Fin sedang menenun selendang
Setelah beberapa hari tinggal di Waerebo, saya menyadari bahwa mama-mama di Waerebo ini sangat sibuk sekali dalam kesehariannya. Bangun tidur paling pagi, menyiapkan kopi dan memasak untuk keluarga, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, menjemur kopi, mengurus anak dan keluarga, memasak untuk tamu, menenun dan berkebun. Two thumbs up for them!

Pergi ke kebun untuk memetik kopi

***
Semakin hari, tampaknya saya semakin jatuh hati dengan Waerebo. Semakin banyak hal menarik yang saya temukan disini. Rasanya berat saat harus turun ke kota. Setiap kali saya turun, kerinduan untuk kembali ke Waerebo terasa semakin menggurita. Saya semakin sadar bahwa komunitas adalah guru saya untuk lebih toleran, peduli orang lain, peduli terhadap alam yang sudah dianugerahkan oleh Sang Pencipta, juga mengajarkan saya bagaimana lebih teguh lagi dalam berjuang di tengah keterbatasan, dari hal-hal yang sederhana.

“... go far, and if you do it right you’ll love where you are”









Komentar

  1. Im, makasi untuk tulisan dan waktu kamu. Jadi pengen berkunjung ke Waerebo. Pengen menyaksikan langsung mamak-mamak nenun kain, mau icip langsung kopi khas waerebo. Semangat melestarikan budaya waerebo ya im! Btw, waerebo keren kopinya udah sampe bandung. Kang Andi yang menemukan waerebo, atau waerebo yang menemukan Kang Andi tuh im?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo trip ke Waerebo Wit :D
      Bahkan kopi mereka udah dijual sampe Perancis hehe
      Kang Andi yg nemuin Waerebo. Dia ke Waerebo September 2015. Sebulan dia pendekatan ke warga, habis itu mulai ngasih pendampingan ke petani buat peningkatan mutu kopinya

      Hapus
  2. Woow another hidden paradise im...
    Indah banget disana seperti foto" itu. Kehangatan masyarakat nya jugag kerasa. Semoga suatu hari bisa berkunjung ke waerebo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Dah, kalo ada kesempatan & rejeki maen2 ke Waerebo. Klo aku masih di Flores, aku temenin deh hehe

      Hapus
  3. Im, akeh bahan nggo ditulis.. Nek dimuat nang lembah code, iso menyentuh kalangan pembaca sing lebih luas..
    Yayan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Hikmah Dibalik Pertempuran Tebing Merah

Mbel

Kurikulum Sekolah Kajian Strategis