Berbalas Dua Sahabat

“Hati-hati”, Bertanya dan Berharap pada Kawan

Entah berapa banyak mata yang terus meneteskan air matanya karena kegetiran hidup yang dialami. Ketika kabut kegelapan itu muncul kembali, ketika keputusasaan menggelayuti dari segala penjuru dan ketika suara hati berteriak dengan kegetiran. Adakah`mereka (yang diberi kuasa) yang menghiraukan hal itu? Jangankan menghirukan yang mendengarnya pun tidak ada? Kenapa? Karena suara hati hanya bisa di dengar oleh hati, “mereka” sudah tidak memiliki hati, jangankan hati, rasa malupun sudah tidak dimilikinya.
Mereka tidak mendengar, tapi aku mendengarnya, apa yang diteriakan hati-hati yang digelayuti putus asa itu. Hati-hati itu berteriak, “Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang tidak tau malu itu, kita sedang putus asa, tapi mereka sedang bingung dan membiarkan kekufuran masuk ke tubuh mereka. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang dungu yang selalu riuh bertepuk yang selalu gempita menyambut dan selalu mengangguk di hadapan para penguasa (yang lebih kuasa diantara mereka). Apa yang bisa diharapkan dari mereka?”.
Aku yang mendengar teriakan hati-hati itupun tidak bisa berbuat apa-apa, dan masih berharap ada yang lain yang mendengar teriakan itu juga. Aku berharap, tapi entah terhadap siapa.
Sial, “mereka” yang tidak punya rasa malu itu, yang telah menyebabkan gonjang-ganjing di negeri ini, tidak serta merta musnah walaupun sudah dihantikan, bahkan para penggantinyapun sama dengan mereka, tidak punya hati dan tidak punya rasa malu.
Aku bertanya kepada kawan, menanyakan apa yang diteriakan hati-hati itu, berbagi kegundahan dan berharap padanya. Kawan, “Bagaimana kita menyelamatkan diri dari berbagai penyakit yang menyerang kehidupan individu, keluarga dan masyarakat ini? Kawan, aku memintamu untuk berpikir, dengan apakah kira-kira kita dapat menyelamatkan hati-hati itu dari kemiskinan moral dan kesesatan yang semakin parah hingga membuat kehidupan menjadi beban berat dan setumpuk kebingungan yang tidak bisa kita pikul lagi?. Kawan, bagaimana kita melangkah kedepan dengan penuh percaya diri dan tenang?. Kawan apakah kita perlu mengimpor ideologi dan gagasan-gagsan dari sana-sini?atau apakah kita perlu menggunakan rasionalitas masa kini yang juga telah di gunakan “mereka”untuk membangun semuanya?.

***

Berangkat dan Kembali

Aku berlindung kepada Allah dari mengisyaratkan hati, lisan atau tangan kepada selain-Mu. Tiada Rabb selain Engkau wahai Penguasa hati

Sungguh yang paling istimewa dari diri manusia adalah hati. Tempat dimana bahasa jiwa saling bercakap, tanpa sekat dusta. Hati adalah pemimpin bagi manusia. Jika ia baik, baiklah manusia itu. Pun jika ia jahat, jahatlah manusia itu.
Ditengah-tengah penguasa menyerukan slogan-slogan palsu, masih kudengar suara paraumu wahai hati. Kau masih saja bersenandung penuh harap, menanti kebenaran yang datangnya telah dijanjikan Tuhan kita.
Memang hidup ini rasanya makin muram saja. Kepongahan yang kau sebut “mereka”, terus saja menyudutkan hati yang lugu dan suci.
Duhai hati yang masih peka dan peduli, percayalah, Sang Maha Peduli tak pernah membiarkanmu sendiri. Kegetiran dan pahitnya hidup semoga menjadi penguat dan mengokohkan pasak pendirian, supaya senantiasa menancap membersamai langkahmu. Biarlah kita menjadi terasing atau dibenci. Tak perlu takut, karena selalu ada ruang istimewa di sisi-Nya bagi diri yang teguh menjaga kebenaran.
Walau mereka belum juga musnah, tidak perlu kita mengeluh mengumpat. Tak ada perubahan berarti karenanya. Mari rajut kembali asamu, asaku, asa kita. Karena hidup tiada makna tanpa ada asa.
Rasanya, impor ideologi dan gagasan yang tidak jelas asal-usulnya, berorientasi materi serta menegasikan Tuhan,  hanya akan menuntun kita pada keraguan dan kebingungan selanjutnya. Biarlah keduanya menjadi cambuk motivasi untuk terus mengarungi samudera ilmu-Nya. Tugas kita, mencari kebenaran dari Tuhan dan menyebarkannya, tak perlu mempertentangkannya.
Segala penyakit, masalah yang kau sebutkan, obat penawarnya hanya satu, kembali ke tuntunan yang kita anut selama ini. Tuntunan yang menjadi peradaban mulia sepanjang sejarah anak adam. Kita berpikir, bercakap, bertindak, berangkat dan kembali pada tuntunan ini, dien ini. Meminjam kata-kata Sang Buya,  
Kalau saudara seorang politikus, dari mesjid pergilah ke parlemen.
Kalau saudara seorang ekonom, dari mesjid pergilah membuka NV.
Kalau saudara seorang pujangga, dari mesjid mulailah menulis.
Adalah salah satu bentuk dari rasa tanggung jawab ketika kita berangkat dan kembali pada tuntunan. Memang itulah konsekuensi kita sebagai makhluk, budak dari tugas suci kalau kau bilang. Ingatkah engkau sebelum lahir dari rahim ibu yang mulia, kita telah berikrar dan menyanggupi untuk menjadi hamba-Nya yang setia?
Yang menjadi soal adalah, ketika situasi yang kondusif itu, pada titik atau persimpangan tertentu menimbulkan sebuah tanya, kita benar atau sedang merasa benar? Bukan maksudku mempertentangkan kebenaran. Hanya mencoba memastikan, apakah yang hal yang benar akan menjadi kebenaran? Yang baik akan menjadi kebaikan?
Sampai disini, maaf bila jawabanku belum membuatmu puas, atau bahkan menimbulkan soal baru. Yasudahlah..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Hikmah Dibalik Pertempuran Tebing Merah

Mbel

Kurikulum Sekolah Kajian Strategis