Liberalisasi dan Dependensi Dibalik RUU Pangan
Kamis,
05 April 2012 telah dilaksanakan Diskusi Publik “Liberalisasai dan Dependensi
dibalik RUU Pangan” oleh JANGKAR (Jaringan Kajian Strategis Agrokompleks)
bertempat di ruang sidang 384 FTP UGM. Membuka diskusi, Qadaruddin Fajri Adi selaku
moderator menekankan bahwa berbicara masalah pangan tidak hanya sebatas pada jumlah piring yang
harus dipenuhi pemerintah untuk masyarakat. Melainkan masalah hidup-mati
bangsa. Hal ini akan erat kaitannya dengan upaya pemerintah untuk membuat
bangsa Indonesia berjaya melalui kedaulatan pangan, tambahnya.
Pembicara pertama, Dr. Jur. Any Andjarwati, S.H., M. Jur,
menjelaskan bahwasanya hukum pertanian masih kalah populer dan menarik di mata masyarakat
meski masalah di pertanian sangat kompleks dan pelik. Pada dasarnya, tujuan
adanya hukum pertanian adalah menjamin kesejahteraan petani, menjamin pangan
penduduk dengan harga yang pantas dan menjamin lingkungan hidup. Bu Any juga
mengkritisi masalah konsolidasi yang masih kacau antara pemerintah pusat dan
daerah. Bahkan Peraturan Pemerintah, lanjutnya, merupakan permainan politik
yang menunjukkan kegagalan sistem hukum di Indonesia.
Pembicara
kedua, Prof. Dr. Ir. Ali
Agus, D.A.A, mengawali penjelasannya dengan menyentil, “Apalah arti
Undang-undang kalau implementasinya tidak ada?”. Pembangunan ekonomi pertanian
menurutnya harus memperhatikan tiga hal, yakni sumber daya yang dimiliki,
karakteristik wilayah dan orientasi pembangunan yang dicita-citakan. Untuk yang
ketiga, disesuaikan dengan orientasi UUD 1945. Kedaulatan pangan berarti hak
untuk memiliki pangan secara teratur, permanen, bermartabat, dan bebas dari
rasa takut. Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pemenuhan
kebutuhan pangan manusia. Maka dari itu hak-hak petani harus diperhatikan guna
mewujudkan pangan yang berkelanjutan. Selain itu, jihad kedaulatan harus
senantiasa dilakukan.
Berikut kami sertakan hasil kajian kami tentang RUU Pangan:
Ancaman
krisis pangan memancing DPR untuk mempercepat revisi UU no 7/1996 tentang
pangan. Pasalnya, UU ini dinilai out of
date dan tidak relevan lagi karena hanya mengatur hal-hal teknis, sanksi
ringan, dan tidak sesuai otonomi daerah. Lahirlah RUU Pangan inisiatif DPR. Bila
kita telisik lebih jauh, RUU Pangan ini justru kental dengan nuansa liberal dan
ketergantungan. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa spirit
RUU ini sedikit lebih maju dari UU Pangan. Paling tidak, hal tersebut nampak
dari: (i) orientasi kedaulatan dan kemandirian pangan, (ii) semangat otonomi
daerah, keragaman pangan dan potensi lokalita, (iii) pembenahan kelembagaan
pangan berbasis multidimensi, dan (iv) standarisasi keamanan pangan. Sayangnya,
itu semua hanyalah aksesori.
Liberalisasi
Semangat liberalisasi sektor pangan dapat kita
lihat pada pasal 33 yang menyebutkan “Pemerintah
dan/atau pemda dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan
dan distribusi pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan pangan tertentu
yang bersifat pokok”. Tanpa adanya aturan yang tegas, peran swasta akan terbuka
lebar, maka lahirlah spekulan-spekulan yang akan mematikan rakyat tani. Selain
itu, peluang bagi terjadinya kolusi pejabat dengan
pengusaha juga menjadi soal tersendiri karena dalam RUU ini tidak disebutkan
harus BUMN atau BUMD.
Terbukanya
peran swasta dalam pengelolaan stok dan cadangan pangan bertentangan dengan kewajiban
negara untuk menjaga stabilitas harga pangan yang terjangkau seluruh lapisan
masyarakat. Realita mengajarkan, instabilitas harga pangan selalu terjadi setiap
tahun. Sejatinya, peran swasta tidak berdiri bebas seperti dalam pasar persaingan
sempurna. Melainkan dikendalikan oleh negara untuk tujuan ketersediaan pangan
yang terjangkau dan kesejahteraan petani.
Fenomena
ini semakin bias ketika terjadi penyetaraan sumber penyediaan pangan antara
produksi dalam negeri dan impor (pasal 15). Meskipun dalam pasal tersebut
disebutkan harus mengutamakan produksi dan cadangan dalam negeri, penyetaraan
ini mengakibatkan produksi dalam negeri menjadi sekunder. Terlebih dalam RUU
Pangan tidak ada satu pasal pun yang mengharuskan pembelian pangan produksi
dalam negeri saat panen raya untuk memeperkuat cadangan makanan. Semestinya,
impor merupakan langkah terakhir laiknya fungsi bank sentral sebagai benteng
pertahanan terakhir (the lender of the
last resort) sistem perbankan.
Untuk urusan pangan, utamanya pangan strategis, sejatinya
dilarang importasi. Kita harus belajar dari Doha Round, yang
dilawan oleh Menteri Perdagangan India dengan dalih:
I'm not risking for the livelihood of millions of farmers. Sepatutnya
kita belajar dari ajaran Kamal Nath ini, bukan malah menggelar karpet merah
bagi importasi yang menambah marjinalisasi rakyat tani.
Dependensi
Swasembada pangan tidak diusung sama
sekali dalam RUU Pangan. RUU ini hanya menitikberatkan pada ketersediaan
pangan, tidak pada siapa dan bagaimana pangan itu diproduksi. Berbicara tentang
kedaulatan pangan, harus dipertegas siapakah yang akan menjadi pelaku utama dan
bagaimana cara mewujudkannya. Sebagai negara agraris, sudah sepatutnya petani
domestik diposisikan sebagai pelaku utama misi kedaulatan pangan ini. Jika gema
paradigma importasi terus dibiarkan, akan muncul persepsi bahwa ketersediaan pangan bisa diwujudkan tanpa harus capek-capek memproduksinya
di dalam negeri dan tidak butuh waktu lama dengan serangkaian penelitian
panjang, juga tidak perlu repot membangun infrastruktur terkait produksi
pangan.
Ketika
posisi tawar impor setara dengan domestik, maka tumbuhlah benih-benih
ketergantungan terhadapnya. Import
dependency pada pangan pokok dan strategis berpotensi untuk menggoyahkan
stabilitas dalam negeri. Bahkan pada pada titik nadir, ketergantungan ini bisa
dijadikan alat pihak asing untuk merubah sistem suatu negara. Misalnya ketergantungan Uni Soviet akan gandum impor, oleh banyak ahli
dikatakan sebagai salah satu sebab dan jalan yang digunakan oleh Barat untuk
menghancurkan Uni Soviet kala itu.
Disintegrasi
Semangat
desentralisasi dan otonomi dalam RUU Pangan sesungguhnya memiliki tujuan mulia.
Program ini akan memberikan kewenangan kepada daerah (provinsi/kabupaten/kota)
dalam perencanaan produksi, konsumsi, ekspor-impor, distribusi hingga cadangan
serta riset. Yang menjadi soal, tepatkah menyerahkan kewenangan penuh kepada
daerah? Kebijakan pangan nasional bukanlah penjumlahan kebijakan dari
masing-masing daerah otonom, dimana egoisme wilayah yang surplus pangan
terhadap wilayah yang minus pangan sangat kental disini. Kondisi ini bisa menyebabkan antar daerah saling bersengketa dalam urusan
pangan, disintegrasi. Di saat kondisi di luar Jawa masih minim SDM,
infrastruktur, sitem irigasi, RUU Pangan justru memberikan legalisasi.
Catatan Kritis
Pasal 1 (6): Ketersediaan Pangan
adalah tersedianya Pangan yang beranekaragam dari hasil produksi dalam negeri,
cadangan Pangan nasional, dan/atau pemasukan Pangan dari luar negeri.
Penggunaan kata ‘dan/atau’ disini menunjukkan adanya penyetaraan sumber penyediaan pangan antara sumber dalam negeri dan sumber luar negeri. Bahkan sumber luar negeri dimungkinkan menjadi alternatif yang mengalahkan sumber dalam negeri.
Penggunaan kata ‘dan/atau’ disini menunjukkan adanya penyetaraan sumber penyediaan pangan antara sumber dalam negeri dan sumber luar negeri. Bahkan sumber luar negeri dimungkinkan menjadi alternatif yang mengalahkan sumber dalam negeri.
Pasal 5: Lingkup pengaturan
Penyelenggaraan Pangan meliputi: a. perencanaan Pangan; b. Ketersediaan Pangan;
c. keterjangkauan Pangan; d. penganekaragaman Pangan; e. Keamanan Pangan;
f. kelembagaan; g. pembiayaan; dan h. peran serta masyarakat.
Ketersediaan pangan artinya jumlah stok pangan yang
mencukupi jumlah kebutuhan. Keterjangkauan yakni tingkat harga rata-rata yang
bisa dijangkau oleh semua kalangan konsumen. Jadi menurut pasal ini,
ketika stok bahan pangan cukup sehingga harga rata-rata bisa dipertahankan pada
tingkat yang dianggap terjangkau, maka tujuan telah terpenuhi. Dalam RUU
ini, penyelenggaraan pangan tidak berbicara tentang pendistribusian pangan
hingga tataran individu. Pengaturan distribusi masih diserahkan pada
mekanisme harga. Betapa sejarah telah mengajarkan kita setiap Ramadhan,
menjelang Hari Raya, Tahun Baru dan sebagainya, para pejabat selalu berbicara bahwa
stok bahan pangan cukup, meski harganya tak terkendali. Dan yang pasti,
selalu saja ada sebagian rakyat yang tidak bisa menjangkau pangan yang layak.
Pasal 9: a. Perencanaan
Pangan tingkat nasional dilakukan dengan memmperhatikan rencana pembangunan
nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi; b. Perencanaan Pangan tingkat
provinsi dilakukan dengan memmperhatikan rencana pembangunan provinsi serta
kebutuhan dan usulan kabupaten/kota; c. Perencanaan Pangan tingkat
kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan
kabupaten/kota
Jika diperhatikan, secara implisit tiap provinsi dan
kabupaten/kota berwenang untuk merencanakan impor pangan sendiri-sendiri dan
itu harus direncanakan untuk penyusunan rencana provinsi dan nasional.
Dengan begitu, provinsi dan kabupaten/kota diberi wewenang membuat rencana
impor pangan dan berikutnya daerah boleh mengimpor pangan sendiri.
Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan pengelolaan cadangan pangan oleh daerah.
Pasal 13 (6): Upaya mewujudkan ketersediaan Pangan dilakukan dengan: … b.
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan …. f. membangun kawasan sentra
Produksi Pangan.
Ayat b dan f dalam pasal ini bisa dijadikan senjata
justifikasi legal pemberlakuan dan pengembangan food estate yang sarat kritik dari berbagai kalangan. Sebab,
pasal ini membuka peluang masuknya korporasi multinasional untuk mengembangkan
produksi pangan dalam skala sangat luas tanpa batas jelas. Kemungkinan, food estate itu akan dibenarkan juga
untuk produksi pangan pokok dan produksi pangan yang melibatkan para petani
kecil. Skala usaha yang besar, area tanam yang sangat luas, sarana dan pra
sarana yang modern, memungkinkan produksi pangan sistem food estate dilakukan sangat efisien sehingga biaya per satuan
produk akan kecil. Akan lebih membahayakan bila korporasi ini juga
mendapat berbagai insentif dari pemerintah termasuk insentif fiskal karena
dianggap sebagai investasi besar yang layak mendapat kemudahan, terlebih bila dijustifikasi untuk mewujudkan
kemandirian pangan. Sementara hal yang sama tidak bisa dilakukan atau
diperoleh oleh para petani. Dampaknya, petani akan terhimpit dengan produk
pangan impor yang harganya murah karena mendapat banyak dukungan dari
pemerintah mereka, juga harus menghadapi tekanan persaingan dari korporasi food estate yang juga bisa menjual
produknya dengan harga murah karena efisiensi yang tinggi, mendapat berbagai
insentif dari pemerintah dan infrastrukturnya dibangun dengan biaya dari APBN
Pasal 15: (1) Sumber penyediaan
Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri, cadangan Pangan, dan
pemasukan Pangan dari luar negeri. (2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diutamakan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri.
Pasal ini menyamakan impor dengan produksi dalam
negeri. Impor ditetapkan menjadi salah satu sumber pasti untuk menjamin
ketersediaan pangan. RUU Pangan ini hanya menitikberatkan pada
ketersediaan pangan. Bukan bagaimana cara produk pangan ini dihasilkan dari
petani dalam negeri. Keniscayaan impor itu bahkan sangat besar pada
produk-produk yang selama ini produksinya tidak mendapat prioritas seperti
kedelai, gandum, jagung, buah-buahan, dsb.
Selama ini impor pangan khususnya beras yang mencapai
dua juta ton pertahun kental dengan aksi mencari rente dan tak jarang sarat
dengan korupsi dan kolusi. Apalagi impor itu harus dilakukan oleh swasta
melalui tender impor. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Insititut
Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri mengatakan, kehadiran kartel
multinasional pangan dalam penyusunan RUU Pangan sangat beralasan. Pasalnya,
saat ini devisa impor produk pangan di Indonesia ditaksir melebihi US$ 50
miliar per tahunnya. Didin menyebutkan, penelitian yang dibuatnya pernah merilis
sebetulnya impor beras merupakan rekayasa belaka. Bukan pada aspek pengamanan
stok pangan pemerintah. Langkah tersebut tidak lain hanya mencari rent seeking.
(kabarbisnis.com, 7/12/11).
Pasal 30 (3) Cadangan Pangan
Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian Pangan Pokok pada saat panen raya
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (4) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memiliki cadangan Pangan Pokok.
Kata dapat itu artinya tidak terbatas pada hal
itu. Kata dapat itu artinya hanya sebuah opsi, bukan keharusan. Itu
artinya, pembelian pangan pokok pada saat panen raya dari para produsen seperti
petani misalnya, tidak menjadi prioritas. Padahal dengan mekanisme
pembelian produksi petani itu, pemerintah sebenarnya bisa menjaga harga jual produksi
petani dan memperbaiki kesejahteraan petani. Cara paling mudah mewujudkan
cadangan pangan itu adalah dengan cara impor. Cara itu dibenarkan dan
ditegaskan pada pasal 15. Opsi impor itu disetarakan dengan pemenuhan dari
sumber produksi dalam negeri. Itu artinya demi melaksanakan kewajiban
memiliki cadangan pangan itu pemerintah kabupaten/kota dibenarkan melakukan
impor pangan. Sebab jika produksi pangan di kabupaten/kota tersebut tidak
mencukupi, sementara angka cadangan pangan wajib terpenuhi, dari mana lagi
untuk memenuhi itu jika bukan dari impor. Opsi pembelian dari
kabupaten/kota lain rasanya akan menjadi sulit. Sebab kabupaten/kota lain
juga memiliki kewajiban yang sama. Dengan kebijakan otonomi daerah dalam
pengelolaan pangan ini, maka antar daerah satu dengan yang lain bisa jadi akan
terjadi ketimpangan.
Pasal 33: Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang
penyimpanan dan distribusi Pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan
Pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Badan usaha itu bisa saja berupa badan usaha
swasta. Peran Bulog dalam RUU ini dikebiri. Bulog bahkan akan
ditiadakan dan dilebur menjadi BOP (Badan Otoritas Pangan). Ini sama saja
membuka ruang bagi terjadinya kongkalikong penguasa pengusaha.
Pasal 34 (3) Cadangan Pangan
masyarakat dikelola di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
Hal demikian dap bagi stabiitas harga pangan.
Sebab dengan dibenarkan mengelola cadangan pangan, pedagang dibenarkan menumpuk
dan menyimpan pangan pokok seperti beras minimal untuk angka kebutuhan enam
bulan ke depan. Harga pangan pada akhirnya bisa dipermainkan oleh para
pedagang. Diantara spirit yang diusung RUU ini adalah desentralisasi atau otonomi
pangan sejak perencanaan, produksi, sarana pra sarana, pengelolaan cadangan
pangan, distribusi dan sebagainya. Ini justru membuka pintu liberalisasi
di sektor pangan. Sebab pengelolaan pangan yang diserahkan ke
masing-masing daerah mulai perencanaan, produksi, pengadaan, pengelolaan
cadangan pangan, distribusi dsb, akan membuka pintu liberalisasi diantaranya
lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang
terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable.
Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak
menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan
beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara daerah yang
defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada impor.
Dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka.
Pasal 48: (1) Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan. (2) Pengaturan
Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a.
pengendalian harga Pangan dan inflasi; b. manajemen cadangan Pangan; dan c.
menciptakan iklim usaha Pangan yang sehat.
Bila kita cermati, pasal 48 RUU Pangan sama dengan
pasal dan tujuan Bank Indonesia, yaitu pengelolaan inflasi dan nilai tukar. Ini
berarti merupakan kebijakan pengendalian harga pangan tidak bisa lagi digunakan
untuk menyejahterakan petani. Jika dikendalikan, harga pangan tidak bisa naik.
Petani tidak bisa sejahtera. RUU ini justru menyandera nasib petani demi
kepentingan moneter. Memang harga pangan khususnya pangan pokok pengaruhnya
terhadap angka inflasi lebih besar dari pangan non pokok dan produk lain.
Hal itu mengingat pangan pokok dibutuhkan oleh semua orang. Pengendalian
inflasi melalui kebijakan produksi dan perdagangan pangan agaknya akan lebih
difokuskan pada pangan pokok terutama beras. Jika itu yang terjadi,
sementara, produk industri lain dibiarkan saja mengikuti pasar tak terkendali,
sama saja mengorbankan nasib petani demi kestabilan angka inflasi. Nilai
tukar petani bisa terus tergerus seperti sekarang. Mestinya kebijakan pangan
lebih ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan menjamin tiap-tiap
individu tercukupi kebutuhan pangannya secara layak dilihat dari segala aspek.
Berkaitan dengan kelembagaan yang mengurusi masalah
pangan maka hal itu diatur dalam pasal 113-117. Berdasarkan Pasal 113,
Pemerintah membentuk Badan Otoritas Pangan. Badan ini memiliki dua fungsi,
yakni merumuskan kebijakan Pangan nasional dan menjamin Ketersediaan Pangan
nasional. Badan ini harus ada di ibu kota dan dapat dibentuk di tingkat
provinsi dan/atau kabupaten/kota. Artinya, badan ini dirancang otomatis
sebagai badan struktural yang memiliki struktur berjenjang hingga
kabupaten/kota. Pelaksanaan berbagai tugas dan wewenang itu pasti akan
melibatkan berbagai departemen dan instansi sektoral yang terkait.
Implementasi tugas dan wewenang BOP ini mungkin saja akan terhambat oleh ego
sektoral, sehingga program tidak berjalan secara optimal.
Tentang posisi badan ini diatur di pasal 115, yaitu
badan ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan ini
seperti badan semi ad hoc. Sementara
melihat dari fungsi dan wewenangnya, Badan Otoritas Pangan (BOP) ini sekaligus
berperan sebagai regulator dan operator dalam masalah pangan.
Pembentukan BOP ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh
kurang efektifnya peran Dewan Ketahanan Pangan Pangan yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan; Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian; dan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang
sudah diubah menjadi Perum Bulog dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
2003. Ketiga lembaga ini seperti yang diatur dalam pasal 142 nantinya akan
dilebur dalam BOP. RUU ini justru lebih jauh dari kesalahan perubahan
Bulog menjadi perum. Dengan perubahan menjadi Perum, Bulog bekerja
mengikuti logika bisnis. Buffer
system yang harusnya dijalankan Bulog akan semakin mandul adanya. Jika
untung, Bulog akan masuk dan jika tidak untung, Bulog menahan diri.
Sementara RUU ini justru menghilangkan Bulog dan meleburnya ke dalam BOP tanpa
peran yang jelas.
Jika latar belakangnya demikian, pembentukan BOP dan
peleburan tiga dean dan lembaga tersebut tidak akan menyelesaikan masalah
kekurangefektifan itu. Justru dengan konsep BOP seperti ini, sebagian
peran Bulog akan dikebiri dan bisa jadi tidak tertangani. Peran Bulog
untuk turut menjaga kesejahteraan petani dengan membeli produk petani khususnya
beras pada saat panen raya tidak akan bisa dijalankan dengan baik dan belum
tentu tergantikan oleh BOP. Sebab dalam RUU ini tidak ada penegasan peran
tersebut.
Menyikapi begitu krusialnya RUU Pangan, JANGKAR menolak draft RUU yang sarat
liberalisasi dan dependensi ini. Untuk menindaklanjuti sikap tersebut, JANGKAR
memberikan rekomendasi langkah bagi Komisi IV DPR-RI.
Pertama, segera melakukan perubahan beberapa hal yang bermasalah pada
draft RUU Pangan, yaitu pasal 1 ayat 6,
pasal 5, pasal 9, pasal 13 ayat 6, pasal 15, pasal 30 ayat 3, pasal 33, pasal
34 ayat 3, pasal 48 dan pasal 113-117. Perubahan dapat dilakukan dengan penghapusan atau
penggantian
substansi dengan mengedepankan semangat reforma agraria yang berdaulat
dan berpihak kepada rakyat.
Kedua, meminjam rekomendasi Guru Besar UGM, Prof. Dr. Ir. Moch.
Maksum Machfoedz: membentuk otoritas baru yang bukan dibawah kementan tetapi
lebih koordinatif dan memiliki politic
power yang paripurna. Bulog yang mengemban buffer system sebagai instrumennya. Badan otoritas disini bisa
setingkat kementerian, kemenneg, atau bahkan kemenko pangan.
Oleh sebab itu, JANGKAR mengajak segenap elemen mahasiswa: Tolak
Liberalisasi dan Dependensi dalam RUU Pangan. Maka, mari
bersama-sama mengkaji, mengkritisi dan menyumbang solusi Draft RUU
Pangan yang diberikan oleh Komisi IV DPR-RI.
Daulat Pangan, Daulat Indonesia!
#KedaulatanSDA
Komentar
Posting Komentar